Sabtu, 30 April 2011

Me and Books

Saya bersyukur punya rumah yang bertebaran buku di mana-mana. Tidak semua ruangan sih, dapur dan kamar mandi serta loteng adalah wilayah bebas dari buku. Sedang sisa ruang lainnya selalu berceceran buku atau kertas-kertas tulisan atau majalah dimana-mana. Suami sebenarnya tipe yang suka kerapian, meski saya juga suka, tapi saya termasuk ibu-ibu yang rela memberikan waktunya untuk menata suasana rumah hanya di pagi hari. Maklum, punya seorang anak kecil bukan perkara mudah untuk membuat suasana rumah rapi, malah kalo rapi berasa ada yang kurang.

Orang-orang terdekat saya tahu, bahwa saya amat suka terhadap buku bacaan, saya punya banyak buku pelajaran di lemari 2x1 meter yang sejujurnya jarang saya baca. Hanya perasaan puas ketika melihat jejeran buku-buku itu di lemari saya. Untuk koleksi bacaan saya, suami menjadikan satu dengan koleksinya, meski dampaknya adalah suasana yang berjejalan dan bertumpukan. Lemari 2x1,5 meter masih kurang buat naruh itu buku-buku. Kayaknya kami butuh satu lemari lagi untuk menampung buku-buku yang kami beli akhir-akhir ini.

Saya bukanlah seorang yang selalu membeli buku baru setiap minggu atau setiap bulannya. paling cepat hanya 6 bulan sekali, meski dalam waktu itu saya bisa membeli sekaligus 5-6 buku. Tapi saya suka membaca, Papa bilang saya mewarisinya dari Mama. Mama adalah wanita yang suka sekali membaca, tiap bulan ia berlangganan majalah dan akibatnya saya juga ikut berlangganan sejak kecil. Bobo, Ananda, Hoplaa, adalah sedikit dari bacaan saya sewaktu kecil. Termasuk di dalamnya buku komik yang biasanya diberikan jika saya juara kelas.

Sampai sekarang, saya membiasakan anak saya untuk menyukai buku sejak kecil. Dari umur 4 bulan, saya sudah membelikannya buku dari kain yang bisa dia remas-remas sehingga nggak perlu khawatir digigit atau dikunyah kunyah sama dia. Setelah mulai bisa duduk, dia mulai saya belikan majalah dari kertas yang ada banyak gambar-gambar dan warna. Terkadang bahkan laporan ptugas praktikum saya ikut jadi korban. Tapi tak apa, beberapa buku mengijinkan untuk mengasah gerak motorik halus anak terutama saat ia membalik halaman buku. Meski demikian, untungnya Oryz bukan tipe pemakan segala, jadi buku-buku itu lebih sering ia robek robek daripada ia masukkan kemulutnya. Mungkin karena rasanya juga nggak enak kali ya. Sampai saat ini, buku dan majalah (dari kertas) koleksi Oryz baru memenuhi dua rak di lemari kotaknya, masih sedikit sih, tapi dia sudah mulai menikmati membaca buku atau majalah kesukaannya.

Sekarang setelah menjadi Ibu, saya bersyukur masih bisa meneruskan hobi membaca dan mengoleksi buku. Meski tidak selalu punya buku baru, kalau sudah kumat saya sering menyewanya dari rental, tentu dengan batas swaktu yang amat terbatas, contohnya Harry Potter atau buku-buku lainnya yang setebal kamus bahasa inggris-indonesia hanya bisa dipinjam selama 3 hari. Tentunya saya lebih suka mengamini deadline itu, karena daripada kena denda saya lebih suka uangnya untuk meminjam buku lainnya lagi. :p

Sekarang saya sedang belajar menulis. Ternyata merangkai cerita fiksi itu TIDAK MUDAH. Saya ulangi, tidak mudah. Susah untuk menentukan klimaks cerita dan endingnya, saya lebih suka menulis puisi meski nggak pernah diterbitin media. Hehehh.. Mungkin saya Cuma bisa menjadi pembaca yang baik daripada sebagai pembaca dan penulis cerita. Biarlah, tidak semua orang harus pintar membaca dan merangkai cerita kan?

Sabtu, 16 April 2011

Perempuan (saya) dan puisi

Hari ini ada acara di Balai Soedjatmoko, Jl. Slamet Riyadi, Solo. Diskusi tentang tema perempuan dalam puisi. Kemaren taunya juga karena diinformasikan sama mbak Iput dari Pawon Sastra. Tadi di suruh ngomong dikit sih, tapi karena saya juga baru pertama kali ikut kegiatan mereka, saya masih jadi pendengar dan pengamat dulu saja deh. Belum, saya belum siap untuk diskusi, secara ya, biasa diskusi tentang jurnal ilmiah di kampus, ato diskusi film di rumah sama ayah, tapi saya belum pernah ikut diskusi sastra. Apalagi yang temanya perempuan.

Gimana tadi kesannya? Saya terkejut sebenarnya, maklum saya tidak terbiasa menyimak secara langsung diskusi diskusi yang nyastra abis. Bahasanya bahasa sastra, yang di bahas pun juga tentang kesusastraan dan filosofi. Saya yang basicnya dari science enjoy, meski ada kata kata yang masih awam, ada juga yang bahasanya njelimet nggak to the point. Tatpi secara keseluruhan saya suka acara seperti ini, membuka cakrawala baru saya tentang para manusia sastra secara langsung, melihat dan mendengar mereka berdiskusi. Mungkin saya akan datang lagi kalo ada acara bginian.. ^^

Bagaimana puisi dalam keseharian saya sebagai perempuan?

Saya suka membaca dari kecil, meski demikian sya baru memulai menulis puisi ketika SMP. Yah walaupun satu satunya karya saya yang berhasil diterbitkan adalah ketika kelas 3 SMA, di majalah sekolah waktu itu. Dan Cuma sekali itu, karena saya juga nggak pernah menang lomba dan puisi saya juga belum pernah dimuat di media cetak lainnya.

Tapi saya masih tetap suka menulis puisi, saya memang tidak atau mungkin belum bisa disejajarkan dengan mbak-mbak dan mas-mas para sastrawan dan sastrawati yang telah menerbitkan buku puisi perempuan mereka atau antologi puisi mereka. Saya juga nggak berbakat nulis cerpen, karena repotnya saya nggak bisa menentukan klimaks cerpen itu sendiri. Saya masih golongan kasta rendah kalo di kelas kelaskan.

Blog saya juga tidak sering dibaca orang, kebanyakan hanya karena mencari artikel tertentu bukannya membaca hasil tulisan saya. Lalu kecewakah saya? Sejujurnya, tidak. Saya menulis memang untuk saya sendiri, puisi adalah identitas yang mampu menggandengkan saya dari alam imajinasi ke alam duniawi. Alam mimpi dan alam nyata. Cukupkah sampai disitu? Sejujurnya, siapa sih yang nggak mau karya sastranya dinikmati orang lain, dikritisi, dipuji, dicaci, dimaki.. Agar bisa menjadi karya yang lebih baik. Agar nantinya puisi menjadi lahan pembelajaran saya khususnya sebagai pencinta sastra.

Saya suka keduanya, membaca dan menulis. Sebagian besar tulisan di blog saya isinya puisi, sebagian lagi cerita saya, pengalaman saya yang mungkin memang nggak bisa dijadikan puisi, tapi lebih menceritakannya kepada pembaca secara langsung.

Lalu hubungannya saya sebagai perempuan?

Puisi adalah cara saya curhat. Tetntang hidup, tentang alam, tentang ritme keduniaan, tentang cinta, tentang kesedihan, tentang apa saja yang bisa saya ubah menjadi susunan kata. Beberapa orang menyukai puisi saya, tapi saya tahu bahwa banyak orang juga yang tidak menyukai puisi sya. Lalu kenapa? Manusia baik apapun jenis kelaminnya, saya rasa mereka berhak menyuarakan emosi mereka dalam bait puisi. Tanpa perlu dibanding-bandingkan, atau dikotak-kotakkan.

Saya sebagai individu lebih setuju bahwa di dunia puisi khususnya, tidak ada pemisahan gender. Ia tak serupa tapi sama. Masing-masing individu menyuarakannya dengan kekuatannya sendiri-sendiri, dengan ciri khas masing-masing penulis. Biar perempuan, kalau ia belum mampu, katakan saja belum, Biar ia lelaki pun juga begitu. Seperti yang dibahas tadi di diskusi, jika puisi itu adalah produk, biar konsumennya yang menilai siapa yang memiliki karya yang baik dan mana yang kurang.

Toh masing-masing orang diperbolehkan memiliki pandangan yang berbeda dalam menanggapi sebuah puisi.

-Solo-

160411

Jumat, 15 April 2011

Pacaran ya?? Hmmm.. *mikir*

Seorang temen gw lagi stress mikirin hubungan dia sama temen cowoknya. Seperti itulah jatuh cinta, hey gw ngga akan boong dengan mengatakan gw ga pernah pacaran. Yaa, sepanjang perjalanan hidup gw, sayangnya gw pernah pacaran beberapa kali. Dan gw tau banget dilema yang lagi dirasain temen gw tersayang itu. Pengen mutusin, tapi entar gimana kalo dia terjerumus yang nggak baik, pengen dilanjutin tapi sejujurnya tau kalo hubungan ini nggak bener.

Terus?

Yaa, kalo dulu saat gw punya permasalahan seperti ini, guru ngaji gw (saat itu gw masih ikut Rohis di SMA) memberikan statement keras : Buat apa ikut pengajian kalo masih pacaran??

Jlebb. Sial, gw memang orang yang keras kepala, tapi kalo digituin sama guru gw sendiri yaa.. gw pasti mikir berkali kali buat ngelanjutin hubungan ini. Ynag lebih parah, saat itu cowok gw juga pake ngancem mau terjun ke hal-hal negatif. Contohnya ya ngedrugs, mabok2kan, dll deh, semacamnya gitu. Dan gw takut banget kalo nanti terjadi kenapa kenapa sama dia, malah gw yang disalahin : ini gara gara kamu yang memutuskan hubungan dengan X (Sebut saja dia X ya).

Apalagi gw dulu punya ketergantungan tinggi sama X, Berangkat dan pulang sekolah biasanya bareng, ada kajian biasanya dianterin (ironis banget ga segh..). Ya, hubungan pacaran klasik yang nggak asyik sih sebenernya.

Lalu kenapa gw nekad mutusin dia?

Selain karena omongan guru ngaji gw, yang saat itu begitu gw sayang. Juga hasil pengomporan temen-temen Rohis yang semangat banget buat gw ajak diskusi. Ya, kalo emang jodoh nggak akan ke mana kok Vin. Begitu biasanya mereka bilang. Gw percaya banget itu, Tuhan udah nentuin jodoh kita dan Dia pasti memilihkan dan memberikan yang terbaik buat kita. jadi kalo kita maksa maksa cowok lain buat jadi cowok kita, gimana donk dengan keputusan Tuhan tadi?

Lagipula kalo X akhirnya berujung dengan akhir yang kelam, gw ga bisa di salahkan donk. Itu kan hidup hidup gw, hidupnya dia ya hidupnya dia. Kita sudah sama sama dewasa dan mengerti resikonya, jadi ketika mengambil suatu keputusan, yg harus dilakukan kemudian adalah memperhitungkan resiko yang mungkin terjadi ketika kita mengambil tindakan itu.

Ribet?

Ya, keliatannya ribet. Apalagi gw saat itu tinggal jauh dari orang tua dan gw butuh banget orang untuk menyemangati gw. Alasan klasiknya adalah : kalo ada X di sisi gw, gw ngerasa bisa ngelakuin apa aja, prestasi belajar gw meningkat, gw mau ikut pengajian, dll gitu lah. Tapi kepikir2 lagi, gw akhirnya sadar, tanpa dia pun gw tau gw sanggup ngelakuin itu. Tuhan ada sama gw, dan gw Cuma butuh keyakinan itu. Jadi buat apa ngarepin dia sebagai penyemangat gw? Bentuk nyata? Gw Cuma perlu nempelin poto-poto temen2 gw, kampus idaman gw (saat itu masih Ganesha, meski sekarang ujungnya gw ga pernah daftar di sana). Cuma itu.

Lalu gimana kalo begini, begitu, ya namanya resiko memang harus dipikirkan. Tapi apapun yang terjadi, saat itu gw tau gw harus mutusin dia sebelum lebih jauh lagi kita melangkah. And that’s it. Sebuah pertemuan singkat, dan setelah itu memang perlu waktu buat ngelupain dia. Tapi gw punya banyak banget teman2 cowok, cewek yang nyemangatin dan nasihatin gw, sampe gw bisa ngelupain X sebagai pacar gw. Sekarang? Gw percaya takdir Tuhan itu berjalan, dan akhirnya gw ga nikah sama dia. Gw nikah sama seorang suami yang bersamanya gw bisa menjadi diri gw apa adanya. Slengean, nggak bisa masak, nggak pinter ngurus rumah, tapi itulah gw. Hahaha. Dan gw tau, Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi kita, apalagi kalo kita memintanya. J

Terus gimana pandangan gw sama orang-orang pacaran saat ini?

Gw sih masa bodo. IDL, Itu sih derita lw!!

Sebagai seseorang yang sudah dewasa, segala konsekuensinya pasti sudah harus lw perhitungkan dengan masak2 kan? Termasuk kemungkinan terburuknya, yaitu putus padahal lw udah kasih segalanya ke pacar lw. But that’s life, Guys. Mau dikasih warna apa itu hidup lw sendiri, it’s your choice..

Saran gw sekarang? Ajak nikah pacar lw. Rejeki itu Tuhan yang atur, Tuhan yang ngasih kalo lw mw nyari. Nikah itu halal loo.. J

Kalo ga ada niat nikah, ngapain lw pacaran?

Hitam #2

Tak ada yang pernah menaruh luka di hati
Pun saat maut mendekati jiwamu
Jiwa kita yang lunas sengsara dan kecewa

Bagiku hadirmu menerangi dunia
Denganmu aku merasa sama
Tanpa membandingkan siapa yang suci
Siapa yang lebih wangi

Kita terduakan dari semesta yang pilu
Dan waktu yang menggoreskan abu-abu di bayangan kita
Serta nestapa yang menjadi surga lara

Meski para suara itu tahu mereka butuh kita
Pucuk-pucuk langit yang kelam
Untuk menegaskan putih mereka yang merintih
Perih

Kecupan dingin adalah permata dalam sukma
Atau angkara yang berakhir dengan air mata

Kau dan aku adalah lonceng-lonceng kedamaian
Yang sepi, yang datang dari nurani
Dan setia bahkan hingga pagi


-Solo-
110411

Jumat, 08 April 2011

Dreams

Terkadang, memang dibutuhkan “panas” agar sebuah electron mau keluar dari tempatnya. Begini, terkadang saya membandingkan kehidupan saya dengan teman-teman yang saya kenal. Biasanya lewat fb karena di sanalah gaya hidup itu dimulai. Sekitar setahun yang lalu, saudara jauh yang seumuran dengan saya, meski dia laki-laki, ikut program pertukaran pelajar di Jepang. Lalu hampir setengah tahun ini, seorang sahabat saya bersekolah di Filipina. Beberapa teman saya juga sering menghabiskan liburan di luar negeri, terkadang saya as human being juga tetep terkompori pengen banget ke luar negeri. Sebut saja, mereka ke Singapura, Thailand, USA, Paris, dan yang kemaren berangkat buat pelatihan, Pembimbing skripsi saya, ke Jerman.

Salahkah kalau saya juga pengen ke luar negeri? Sedangkan di sekitar saya banyak banget orang-orang yang saya kenal yang masih punya kesempatan ke luar negeri, untuk belajar khususnya. Beberapa dosen saya yang kuliah lagi di Jerman, di Australia, Inggris, seringkali menceritakan pengalaman itu ke saya. Apalagi saya yang biasanya juga tontonannya tv kabel, ruang lingkupnya sudah bukan Indonesia lagi, tapi Internasional. Akhirnya, banyak cerita atau kisah kisah yang saya tonton, menceritakan kehidupan di luar Indonesia.

Bukan berarti saya tidak cinta Negara saya sendiri, saya tahu kalau untuk wisata, Bunaken atau Gunung Bromo juga sudah cukup memuaskan hati saya. Maklum, saya bukan tipe wanita shopaholic, saya tipe wanita yang lebih suka petualangan alam. Sedangkan untuk pendidikan, beberapa orang mungkin sudah puas dengan tembus universitas bergengsi di Indonesia. Sebut saja 2 nama beken, UI dan ITB. Tapi kalau untuk jenjang Internasional, siapa sih yang nggak mau kuliah di luar negeri? Di bayarin lagi..

Seorang sahabat SMA saya, saat ini sedang mengikuti kuliah di Jepang, program WJC setengah tahun. It sounds great to me, secara syarat beasiswa itu nggak main2. TOEFLnya harus minimal 500. Dan harus tahu bahasa jepang pula, because as we know, Orang orang Jepang sangat mencintai kebudayaannya, termasuk bahasa pengantarnya juga, bahasa Jepang.

Seperti yang pepatah bilang, ada kemauan selalu ada jalan. Kalau sudah ngayal ke luar negeri gini, maka yang aku lihat terkadang teman-teman atau saudaraku yang masih belum beruntung. Yang sekolahnya berhenti sampai SMA, lalu mencari uang untuk menghidupi keluarganya. Sebab baginya, tak ada lagi kesenangan untuk diri pribadinya, apalagi mau sekolah di negeri orang. Atau berkaca pada kebaikan yang telah Tuhan berikan kepada saya, sebagai manusia yang sangat sangat biasa. Jangan hitung yang besar besar, terkadang nikmat sederhana seperti udara, air yang kita minum, bintang yang bergemerlapan di malam hari, angin yang bertiup sepoi sepoi, itu adalah nikmat yang sangat besar yang tak jarang kita lupakan.

Kalau sudah begini, terkadang untuk bersyukur saya masih melihat ke bawah lagi, meski seringnya tidak tega.

Seperti petuah yang sering saya denger, kalau untuk bersyukur lihatlah terus ke bawah,Na. Kalo untuk bermimpi, lihatlah ke atas, menggapai langit. Meski jatuh itu sakit, tapi kau akan punya pengalaman untuk mendewasakan dirimu, jangan takut mencoba sesuatu yg lebih baik. Sebab ketika Allah berkehendak, tak ada yg tak mungkin.

Jadi nggak salah kan kalau saya juga pingin sekolah di luar negeri...

-Solo-

Ketika satu lagi teman studi ke Jepang

Selasa, 05 April 2011

Aku dan MIR

Hari ini ikut seminar ala wali murid di sekolahnya Oryz. Sekalian nerima hasil MIR (Multiple Intelligences Research) punya Oryz. Awalnya biasa, sedikit pengenalan ke orang tua tentang Manfaat MIR. Bahwa untuk melihat potensi belajar anak, kita harus tahu anak ini tertariknya lewat apa. Apa kecerdasan visualnya yg lebih tinggi, atau kinetis, atau musik, dsb lah. Jadi kita bisa mengajari anak dengan caranya masing-masing.

Sebenernya rada terpesona juga waktu nerima materi, soalnya yang bawain acara juga konyol, interaktif juga sih dengan pesertanya. Tapi begitu aku tahu bahwa kecerdasan itu berkembang, alias bersifat dinamis, aku jadi mikir. Apalagi setelah dinyatakan oleh Bapak pembicara, kalo MIR itu datanya selalu bisa berubah minimal 6 bulan sekali. Berarti harusnya anak saya di lakukan MIR tiap 6 bulan sekali donk. Dan itu juga belum tentu konsisten. Contohnya, Oryz di MIR akhir bulan desember, pembagian hasil ini bulan april. Dalam hasil ditulis kecerdasan musik Oryz di peringkat 7, 2 dari terakhir, padahal sekarang ini Oryz lagi seneng banget nyanyi. Karena waktu pemberian materi di seminar itu juga dikasih tau beberapa ciri tentang masing masing keunikan kecerdasan multiple itu.

Kecerdasan musik itu diantara ciri cirinya adalah seneng nyanyi, seneng ikutin orang nyanyi, seneng dengerin musik, bersenandung, sampe ngerubah sendiri teks lagunya. Oryz juga lagi dalam fase ini, meski aku tadi juga nggak tanya ke bapak penceramah, karena aku tahu pasti jawabannya. Multiple intelligences itu berubah ubah terus, bu. Pasti gitu jawabnya. Lalu gimana donk, sedang hasil testnya aja butuh waktu 3 bulan buat di print out. Keburu berubah lagi donk hasil MIRnya.

Terus gimana? Hei, saya tidak menyalahkan test MIR, karena seperti yang kita tahu, kecerdasan manusia itu fluktuatif. Berkembang. Meski saya rasa kalo yang satu berkembang, bukan tidak mungkin yang lain menyusut. Terus gimana mensiasati mengoptimalkan golden age si anak?

Kalau saya boleh kasih saran. Sebagai orang tua, kita harus sering mengamati kebiasaan si anak. MIR itu kan alat bantu orang tua dan guru untuk mengenal dan memasuki dunia anak agar bisa menyisipkan dan mengoptimalkan kecerdasan mereka. Berarti kita harusnya tahu apa saja yang menjadi ciri-ciri dari 8 MI itu. Misalnya, kalo Kecerdasan linguistik ciri cirinya cerewet, seneng ngomong apaa aja (gw bangeeet), kalo kinetis cirinya ngga bisa diem alias geraak mulu, jumpalitan di atas kasur, lari lari, main bola. Terus kalo kecerdasan alam cirinya suka dengan hewan, suka kasih nama hewan, tumbuhan. Kecerdasan intrapersonal, suka melamun, pendiam, suka nangis juga sih tadi si Bapak bilangnya. Kecerdasan interpersonal, suka berhubungan dnegan orang lain, suka bergaul, senengnya maiin sama temennya.

Nah, kalo kita sudah tau ciri ciri dari kecerdasan anak, maka sebaiknya ketika kita tahu si anak itu paling senengnya ngapain, maka lewat pintu itulah kecerdasannya ditingkatkan. Jadi kita ngga perlu nunggu hasil MIR yang sampai 3 bulan baru bisa keluar, karena biar bagaimanapun juga. Orang tua seharusnya paling paham kebiasaan anak. Atau kalo orang tua ternyata juga ngga tau, si mbaknya yang sering menghabiskan waktu dengan si anak, mungkin lebih tau dari pada orang tua. No offense, demi kebaikan si anak, yang mana ahli waris kita, kesampingin dulu itu ego. Jadilah orang tua yang mau menerima masukan dari orang orang terdekat si anak. Jadi kita bisa menempatkan pintu masuk ”kecerdasan” itu dengan tepat. Yaa, kalo salah, itungannya nggak salah salah banget lah.

Maaf kalo merasa ada yang ngga setuju dengan tulisan ini, ini hanya pendapat saya sebagai ibu muda biasa. Bukan ahli yang punya background psikologi apalagi bergaul dnegan banyak anak anak kecil golden age. Nggak, saya lebih suka mengamati orang daripada bergaul dengan orang. Susah ya. ^^”

Sekian, semoga pendapat saya ini bisa bermanfaat. J

-Solo-

Sambil ngetweet, nyimak film, ngeblog dan diskusi tulisan. What a colorful life.

:D

Sabtu, 02 April 2011

Cerita cintanya si cinta

Emang susah kalo udah mbahas yang namanya cinta. Semuanya bermula dari tragedy teman-teman yang sering banget ditinggal nikah sama orang yang dia senengin. No offense, meski gw juga pernah ninggalin cowok, tapi gw gak tau gimana rasanya ditinggal nikah sama orang yang kita sukai.

Tersebutlah Cinta, sobat deket gw yang baru aja mengalami trauma patah hati. Sial, dia udah ngefans banget sama si cowok, meski endingnya berakhir sedih karena si cowookk ternyata memilih wanitaa lain untuk dilamar, bukannya temen gw yang udah lebih dari 3 tahun memendam rasa sama si cowok.

Sebenernya dari awal, gw juga udah ragu sama si cowok. Cowok itu sama aja ke mana mana. Sok jual mahal, giliran ngerasa rada mahal dikit, dia ngilang. Damn. It’s hurt, dont they know about it?

Temen-temen gw yang akhir cerita asmaranya nggak berakhir indah, biasanya Cuma bisa nangis sesenggukan, mungkin kaya adegan adegan di Bollywood yang pake settingan ujan ujan sambil nyanyi nyanyi duka. How can I life without you? Parah. Meski pernyataan itu harusnya berbunyi:

Gue bisa hidup tanpa lw, TAPI GW NGGA mau hidup tanpa elu disisi gw.

Tapi begiitulah manusia, iya kan? Mereka-mereka yang ngakunya trauma karena cinta, belum ada itungan bulan juga akhirnya menemukan seseorang lain untuk menggantikan posisi orang yang udah ninggalin luka di hati mereka. Liat aja, temen gw habis ditinggal nikah ceweknya akhirnya malah punya banyak banget stok cewek untuk dipermainkan diam-diam (meski endingnya ketauan juga). Atau temen gw yang lain, akhirnya juga punya cowok-cowok calon pedekate yang keliatannya akan bisa membuat dunianya kembali berseri-seri lagi.

Cinta itu rumit. Nggak salah kalo ada ungkapan mati satu tumbuh seribu. But that’s true, that’s absolutely true. Cinta itu nggak ada ujung meski ada pangkalnya. Ngaliiiiir mlulu seperti air, kadang melawan arus, kadang searah arus. Bisa jadi nasibnya kaya gw, meski udah nikah, masih aja dapet pengalaman cinta hasil pretelan curhat dari temen-temen deket gw.

Terus inti tulisan ini?

Kalo ditinggal pacar lw nikah, keep move on, Guys. Cowok ato cewek yang lw suka itu bisa jadi nggak bener2 suka sama lw. Ato bahasa halusnya, masih akan ada cewek ato cowok lain yang suka sama lw melebihi mantan lw yang kejem itu. Dunia nggak sekejam itu kok, Trust me. Maybe, you just need a little while to be a JOMBLOER. And that’s not false at all.

Keep smile, sayang. Meski air mata lw udah bikin lw nangis semalem suntuk kayak pagelaran wayang